Masjid An-Nabawi

Masjid An-Nabawi
Rawdah

Tuesday, May 20, 2008

Telaah Studi Tasawuf; Observasi Tasawuf dan Pengamalan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia




Abstrak

Ilahi Anta Maqshuudii Waridloka Mathluubi A’thini Mahabbataka wa Ma’rifataka

Artinya : Ya Tuhanku! hanya Engkaulah yang ku maksud, dan keridhaan Mulah yang kucari. Berilah aku kemampuan untuk bisa mencintaiMu dan ma’rifat kepadaMu.

Umat manusia di muka bumi ini sebagai sudut pandang yang lebih tinggi derajatnya, dibandingkan dari makhluk apapun. Karena manusia memiliki daya fikir, jiwa, serta diimbangi dengan rohani. Oleh sebab itu, perlu fasilitas yang sangat komplex dan dominan yang mengerti arti hidup sebagai manusia sempurna (Insân Kâmil), dan dapat memberikan kontribusinya terhadap alam sebagai wujud esensi manusia kepada Tuhan-Nya. Dan fasilitas inilah yang dimaksud dalam studi kita adalah Tasawuf, ilmu yang membahas kedalaman fikiran, perasaan, kerohaniaan yang jernih secara ideal dan faktual. Dalam ilmu Tasawuf ini memberikan segala kekuatan (The Power) untuk melihat sisi positif dari ilmu tersebut. Dan Tasawuf ini pula tidak pernah berhenti dari persoalan apapun.

Pendahuluan
Thariqah Qadiriyah-Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang kamil-mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah-Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Ahmad Khathib al-Sambas terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu :
1. Tentang kesempurnaan suluk,
2. Tentang adab (etika),
3. Tentang dzikir, dan
4. Tentang murakabah.

Latar Belakang Thariqah Qadiriyah-Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya
Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh Abdul Karim dari Banten, Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah dari Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.
Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syaikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syaikh Nuruddin dari Philipina dan Syaikh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.
Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syaikh Tolhah bin Talabudin bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu Cirebon. Selanjutnya Beliau disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun, beliau mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal) Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru Agung Syakh Tolhah Bin Talabudin (dalam silsilah urutan ke 35). Selanjutnya Pondok Pesantren suryalaya menjadi tempat bertanya tentang Thariqat Qadiriyah Naqsabandiyah atau yang disebut (TQN PONPES SURYALAYA).
Dengan demikian, Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad ra. dalam silsilah Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke-36 setelah Syaikh Tholhah bin Talabudin ra.
Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan para ikhwan (murid-muridnya) lebih dikenal dengan panggilan "Abah Sepuh". karena usia beliau memang sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 116 tahun. Di antara murid-murid beliau ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinan beliau. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5 yaitu KH.A. Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin diangkat sebagai (wakil Talqin) dan sering diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas keseharian beliau, oleh karena itu para ikhwan tarekat memanggil beliau "Abah Anom" (Kyai Muda) karena usianya sekitar 35 tahun. Sepeninggal Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad sebagai mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya dilanjutkan oleh KH.A. Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) sampai sekarang, beliau mempunyai wakil talqin yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia.
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang berdiri pada abad XIX M. oleh seorang sufi besar asal Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika intelektual umat Islam Indonesia pada saat itu cukup memberikan sumbangan yang berarti bagi sejarah peradaban Islam, khususnya di Indonesia. Kemunculan tarekat ini dalam sejarah sosial intelektual umat Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai jawaban atas "keresahan Umat" akan merebaknya ajaran "wihdah al-wujud" yang lebih cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai Syari'at Islam. Jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari'at sentris juga mengakomodasi kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.
Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari corak dan pandangan kemasyarakatan. Contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam masalah politik yang diperankan oleh mursyid tarekat ini memberikan isyarat bahwa tarekat ini tidak anti duniawi (pasif dan ekslusif). Dengan demikian, kesan bahwa tarekat adalah lambang kejumudan sebuah peradaban tidak dapat dibenarkan.

Pembahasan
A. Tentang Tasawuf dan Tarekat
Sabtu, 24 November 2007. Bermula dari cermin diskusi santai setelah manaqib dan talqin di kediaman Sahibul Bait ibu Hj. Sri Warsito, yang beralamat di jalan Bambu Hitam No 80, Bambu Apus Raya-Jakarta Timur. Ketika itu saya berdiskusi panjang mengenai tasawuf dan Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, dengan bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS sebagai pengamal sekaligus wakil talqin pada Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, panjang sekali yang dipaparkan oleh beliau mengenai tarekat ini. Wajar saja karena beliau juga merupakan dosen filsafat di IAIN Bandung.
Tentang tasawuf menurut beliau bahwa tasawuf merupakan olah jiwa yang tujuannya adalah untuk bisa mencintai (mohabbat) dan mengenal (ma’rifat) diri kepada Allah. Dengan adanya Tasawuf yang berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian cahaya Al-Qur’an. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf dalam Islam itu. Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syari’ah yang karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat. Sesampainya itu KH.A. Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin berpesan bahwa “Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, ketika ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. ketika sebuah masa yang rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI.
Islam memiliki tempat bagi penghayatan keagamaan secara eksoterik (lahiriyah / syari’ah) dan esoteris (bathiniyah / hakikat), tanpa menekankan pada salah satu dimensi. Dan apabila diberi tekanan pada salah satu dimensi membuat dimensi itu bertolak belakang dari ajaran Islam yang mengajarkan konsep keseimbangan (adil).
Hubungan kedua dimensi ini menurut para sufi diumpamakan seperti jasad dan jiwa pada manusia. Dengan itu, Syari‘at Islam akan menjadi hidup dengan jiwa Tasawuf, dan tasawuf akan meniupkan jiwa esoterisNya pada segenap aspek ajaran Islam baik aspek ritual maupun sosial.
Di kalangan muslim sunni yang menegaskan bahwa Tasawuf harus sejajar dengan syari’at, dengan referensi ilmu-ilmu agama seperti Ilmu Fiqh, Kalam, Tafsir al-Qur‘an, hadits dan lain sebagainya. Dan bersumber kepada empat mazhab yang dianut (Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali). Sedangkan Tasawuf merupakan esoteris dalam dimensi ajaran Islam. Selaras dengan Malik ibn Unas (imam mazhab fiqh) mengatakan bahwa “tasawuf tak dapat dipisahkan dari fiqh, dan apabila terpisah satu sama lain maka akan mendapatkan kesesatan dalam beragama yang benar, dan apabila bersatu sama lain akan mendapatkan kebenaran yang haqiqi.”
Imam malik telah mengungkapkan makna esensi dari tasawuf tersebut. Maka Syari’at dan Tasawuf tak dapat dipisahkan dalam Islam, dan begitu pula sebaliknya jika syari’at tidak senafas dengan Tasawuf bagaikan pohon tak memiliki akar.
Dan tentang Tarekat, sama halnya dengan pedoman tata bahasa arab merupakan jalan atau tuntutan bagi makhluk ciptaannya untuk dekat, bersahabat, cinta, mengenal dan bersatu kepada Allah. Atau Secara terminologi (istilah) tarekat yang berasal dari kata thariqah itu mula-mula berarti jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kemudian ia digunakan untuk menunjuk suatu metode psikologi moral untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan. Tarekat dalam pengertian inilah yang digunakan dalam karya al-Junayd, al-Hallaj, al-Sarraj, al-Hujwiri, dan al-Qushayri. Melalui jalan itu seseorang dengan menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga akhirnya ia mencapai realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi.
Tarekat adalah suatu metode praktis dalam membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan untuk merasakan hakikat Tuhan. Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah.
Berdasarkan uraian itu maka dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah jalan yang ditempuh murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan mursyid.
Kembali kepada persoalan tentang tasawuf, saya bertanya kepada beliau bisakah orang bertasawuf tanpa tarekat?. Menurut beliau bahwa, tasawuf merupakan Rukun Agama yang ketiga setelah tauhid dan syari’ah. Ia mengamini rukun ini, Selain daripada Rukun Iman dan Islam. Kita beribadah bukan saja dalam lahir saja, akan tetapi aspek bathin juga harus sejajar. Agar tidak saling bertentangan.
Lalu bagaimana orang Islam apabila ia tidak mengikuti tarekat ini?, apa ia berdosa?. Jawabannya adalah, bagaimana kita dapat melihat ia berdosa atau tidak, kebanyakan manusia itu tau karena ketidaktahuan, bisa-bisa ia mengerti, atau bodoh, atau berpura-pura, hanya Allah yang maha mengetahui.

B. Tentang Mursyid
Kembali kepada wawancara dengan bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS, masalah mursyid di Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, ini berkenaan dengan pemahaman anda tentang mursyid; menurut beliau mengatakan bahwa mursyid adalah seseorang yang dapat menunjuki murid agar tidak sesat, beda halnya dengan guru yang bertugas sebagai pengajar dan pendidik saja, tapi tak bisa mengarahkan. Dan yang menjadi mursyid di Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah ini adalah KH.A. Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) dan dia bukan sebagai waliyullah akan tetapi sebagai walimursyid. Maka jelas saja bahwa seorang waliyullah berbeda halnya dengan walimursyid. Dan tidak setiap wali itu mursyid, sedangkan setiap mursyid itu sudah pasti wali. Dan menurut beliau tentang pengangkatan mursyid itu tidak mudah dan tidak serta merta mengangkatnya dengan begitu saja. Karena harus memiliki syarat-syaratnya, salah satunya adalah memiliki tarekat yang silsilahnya sampai ke Nabi Muhammad saw, dan beriman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mengajak manusia atau umatnya untuk dekat, bersahabat, bercinta dan mengenal kepada Allah. Dan sikap atau etika murid kepada mursyid, tidak boleh membantah apa kata mursyid. Karena mursyid itu membawa kebenaran. Karena tugas seorang mursyid adalah mengarahkan murid agar tidak sesat. Paparanya.

C. Tentang Manaqiban
Saya sempat bertanya tentang Manaqiban ini, kenapa harus dinamakan manaqib? Dan mengapa harus Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani. Menurut bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS, sebenarnya manqib ini dinamakan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani, karena menjelaskan latar belakang atau riwayat hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani, maka di namakan dengan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani. Kenapa tidak dengan yang lain?. Karena tidak mungkin Manaqib Syaikh Naqsyabandi atau Manaqib Nabi Muhammad saw. Dan ini hanya sebutan untuk riwayat hidup, kalau sebutan riwayat nabi itu kan ada seberti Maulid Nabi Muhammad saw.
Manaqib adalah suatu bentuk kegiatan khidmat amaliah dan ilmiah, dan sudah melembaga dan membudaya di tengah sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Terutama sekali di kalangan ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya. Kegiatan khidmat itu merupakan bagian pengamalan dan pengenjawantahan dari Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Pelaksanaannya secara rutin sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditentukan bertempat di majlis-majlis manakiban dan khotaman.
Manaqib itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari lafadz “manqobah” yang berarti: kisah tentang kesolehan dan keutamaan ilmu dan amal seseorang.
Dan pertanyaan kembali, siapa yang menyusun kisah-kisah ini? Dan dikatakan adanya banyak kisah-kisah aneh di dalam manaqib ini. Beliau memaparkan bahwa dalam menerangkan manqiban ini pasti ada yang percaya atau ada yang tidak percaya, kalau menurut saya bahwa manaqiban ini sesungguhnya yang menulis bukan Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani itu sendiri, akan tetapi yang menulis adalah murid dari beliau yang merasakan diajar oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani itu sendiri. Adapun kejadian yang ada dalam Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani itu merupakan bahasa simbolik yang ditulis oleh murid yang dipercayai untuk menulis manaqib. Adapun percaya atau tidak itu kembali kepada pemahaman diri kita terhadap sejarah. Dan bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS, menyuruh saya untuk bertanya kepada seorang ikhwan tarekat ini ada tidak kejadian yang terjadi pada kisah-kisah aneh di dalam manqib ini. Saya langsung bertanya kepada ikhwan tarekat yang mengikuti manqib ini dari awal sampai akhir, Menurut ikhwan tarekat sebut saja, yang bernama bapak haji sukamto yang berkerja di sebuah transportasi, ia mengatakan “pengalaman saya mengikuti manaqib ini atau merasakan dzikir di tarekat ini dapat memerangi hawa nafsu saya dari hal-hal yang buruk, semisalnya saya dahulunya pecandu Rokok, karena rokok itu hukumnya makruh. Setelah mengikuti tarekat ini saya langsung berhenti total dan tidak merokok lagi. Dan yang lebih terpenting lagi dapat mengurangi, atau melenyapkan hal-hal yang buruk.” Yang jelas manfaat manaqib ini mendapat kebaikan dan kelebihan bagi ikhwan tarekat.
Syaikh Abdul Qodir Jaelani pernah berkata: "Dimana saja dibacakan manaqib-ku aku hadir padanya". Oleh karena itu pada waktu pelaksanaannya para ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Pon-Pes Suryalaya harus hadir untuk mengikuti jalannya kegiatan tersebut.
Dan tempat manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani tidak saja di rumah tapi ada yang di Masjid atau tempat-tempat yang dapat di pakai untuk manaqib. Dan jelas di luar tarekat ini siapa saja boleh masuk, maupun yang tidak atau yang bertarekat. Dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Uraiannya.
Adapun susunan acara manakiban sebagai berikut :
1. Pembukaan
2. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an
3. Pembacaan Tanbih
4. Tawasul
5. Pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jaelani
6. Da’wah/Tabliqul Islam oleh Mubaligh Pondok Pesantren Suryalaya
7. Pembacaan Sholawat Bani Hasyim 3 (tiga) kali
Demikianlah pelaksanaan manaqib, yang dapat menciptakan dan mewujudkan kondisi dinamis, serta tata nilai yang berharga, untuk itulah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh dan terus menerus dikembangkan dan dilestrarikan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.

D. Tentang cara Menjadi Ikhwan Tarekat
Setelah berbicara panjang mengenai tarekat ini, saya semakin menambah wawasan tentang tarekat, lalu saya berwawancara kembali tentang cara menjadi ikhwan tarekat ini. Dan tadi saya menyaksikan setelah manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani yaitu mengenai talqin dan bay’at, dan apa pengertian kalimat tersebut sedangkan adakah persamaannya? Dan mengenal kata talqin sepengetahuan saya tentang talqin yaitu melakukan pembacaan untuk mayit. Bagaimana menurut anda tentang hal ini. Menurut bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS, bahwa bay’at adalah janji seseorang untuk mengikuti tarekat ini dengan sepenuh hati tanpa ada paksaan apapun, oleh karena itu sebelum di talqin saya bertanya kepada para jamaah untuk di bay’at terlebih dahulu, sama halnya orang yang sedang membuat SIM kendaraan harus ditanya terlebih dahulu untuk apa kamu membuat SIM?. Tidak jauh dari istilah yang dimaksud. Sedangkan talqin dalam pengertiannya di sebut tajdid pembaruan Iman seseorang untuk mengamalkan tarekat ini. Talqin itu ibarat payung di musim hujan. Tidak kurang daripada meninggalkan perbuatan setan yang mengajarkan manusia ke jalan yang tidak lurus. Dalam surat al-araf 7: 16
Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus”
Dalam talqin ini dibagi menjadi dua pengertian yaitu; ta’lim (mengajak) dan idkholu (menanam) yang dimaksud adalah menanam kalimat tauhid dalam dzikir kita kepada Allah.
Dan saya menanyakan apakah seorang mursyid itu dapat memberikan syafa’at di hari kiamat?. Menurut bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS, bahwa yang saya uraikan di atas tadi, bahwasanya mursyid itu adalah seseorang yang dapat menunjuki murid agar tidak sesat, beda halnya dengan guru yang bertugas sebagai pengajar dan pendidik saja, tapi tak bisa mengarahkan. Dan masalah syafa’at hanyalah seorang Nabi saw. Besar pengaruh seorang mursyid adalah karamah. Dan tujuan adanya talqin ini adalah mengajak dan menanamkan kalimat tauhid dalam dzikir kepada Allah, dan tidak ada selain dari-Nya.

E. Tentang Wirid
Berbicara tentang wirid dalam tarekat ini bersumber kepada dzikir. Dalam Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah ini ada dua jenis dzikir yakni dzikir dzahar dan dzikir khafi, dalam zikir khafi ini adalah bertujuan untuk meningkatkan ibadah kita kepada Allah dan menjadikan dzikir ini sebagai kesehatan pada ruhani kita. Dalam tarekat ini penggunaan dzikir ini tidak hanya pada lisan saja akan tetapi dalam dzahir dan qalbi (hati) kita ikut berdzikir. Dzikir merupakan ibadah lahir dan bathin, dalam tataran lahir adanya fiqh dan dalam tataran bathin timbulnya tasawuf. Maka tasawuf dan fiqh harus searah. Dzikir merupakan kebutuhan bukan kewajiban.
Saya tersentak dengan ketukan tasbih ketika berdzikir. apa maksudnya?, dalam tradisi Nabi tidak ada berdzikir seperti itu, dan berteriak dengan suara keras ketika mengucapkan kalimat tauhid.
Memang betul, dalam hal dzikir ini memang tidak ada seperti itu. Akan tetapi dengan adanya ketukan itu sebenarnya hanya untuk mengarahkan jamaah agar tidak keterusan dan disinilah fungsi tasbih. Bukan untuk dimainkan. Dan menurut beliau “bahwa tasbih ini merupakan alat dan sebagai ingatan kita akan adanya Allah dalam diri kita. Sama seperti alat komunikasi, HP, atau lain sebagainya. Untuk berhubungan langsung kepada Allah ya tentunya dengan Tahajud dan berdzikir, sama dengan HP kalau berhubungan langsung kesesama manusia ya tentunya ada pulsa ya kan”.
Menurut bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS, tentang dzikir ini sempat ditanya oleh seorang jamaah paramadina tentang hal itu. Lantas jamaah itu bertanya “pa arif, apa yang anda rasakan ketika berdzikir, jawab dengan jujur?”, lalu beliau menjawab “setelah berdzikir itu saya merasakan enak makan dan nyenyak tidur.”
Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya tarekat. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Thariqah Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Thariqah Naqsabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah, dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahlal-Thariqah al-Mu'tabarah.

Penutup

1. Kesimpulan
Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan.
Namun Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui dengan selamat. Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu Surya dalam artian Matahari, Laya dalam artian Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit.
Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh Tholhah bin Talabudin
Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut atau murid yang biasa disebut ikhwan. Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu Tanbih.
Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju, membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII membuat masyarakat yang ingin belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah semakin banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Juga dengan penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman, maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Mentri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan aktif dalam kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diperoleh baik dari presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan dari dunia internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan demikian eksistensi atau keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya semakin kuat dan semakin dibutuhkan oleh segenap umat manusia.

2. Saran
Saran dari penulisan makalah ini, banyaknya ayat ataupun untaian hadits nabi yang tidak termaktub. Tetapi ini tidak mengurangi nilai-nilai sistematika penulisan yang sudah ada, baik isi maupun sub-bahasan.
Dan ada salam pesan dari bapak KH. Drs. Arief Ichwanie AS, ketika saya dengan beliau berwawancara. Beliau menyampaikan pesan salam kepada saya untuk bapak DR. Asep Usman Ismail, MA sebagai guru. Menurutnya; penjelasan dan pengertian tentang ilmu tasawuf tidak jauh berbeda.
Adanya observasi ini, mudah-mudahan penulis mendapatkan cermin dari seorang mursyid asia tenggara. Karena dari beliau dapat memberikan untaian mutiara yang sangat bijak kepada para ikhwan, isi dari untaian mutiara tersebut yakni;

UNTAIAN MUTIARA
1. Jangan membenci kepada ulama yang sejaman
2. Jangan menyalahkan kepada pengajaran orang lain
3. Jangan memeriksa murid orang lain
4. Jangan mengubah sikap walau disakiti orang
5. Harus menyayangi orang yang membenci kepadamu

Semoga Allah memberikan keimanan bagi umat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Dan selalu menjaga apa yang diciptakan oleh-nya.
Jadi konsep yang tertanam dalam tasawuf Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah kali ini bagaimana kita mengaplikasi shalat, dzikir, kita dengan rasa Tawajuh, Munajat (Cur-Hat), Merasakan Kehadiran, Dekat, Ikhlas, Khusyu dalam setiap ingatan dan bersatu kepada Allah dalam diri manusia yang menjadikan keislaman ini menjadi tenang, keimanan ini menjadi dekat, dan keihsanan ini menjadi satu dari diri kita dan erat hubungan kita kepada Allah, semata-mata untuk keagungan dan keindahanmu ya Allah Tuhan semesta alam, yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Sumber Makalah;
Observasi;
ﷲ Pengamatan langsung pengajian manaqib dan talqin dari jam 18.00-22.00 WIB di kediaman Sahibul Bait ibu Hj. Sri Warsito, yang beralamat di jalan Bambu Hitam No 80, Bambu Apus Raya-Jakarta Timur
ﷲ Wawancara langsung, dari jam 22.00-01.30 WIB. oleh KH. Drs. Arief Ichwanie AS

Sumber bacaan;
ﷲ Jadwal MANAQIB dilengkapi dengan tuntunan ibadah; THARIQAH QADIRIYAH NAQSABANDIYAH YSB PONPES SURYALAYA, KORWIL DKI JAKARTA TAHUN 2007
ﷲ DZIKIR HARIAN & KHATAMAN THARIQAH QADIRIYAH NAQSABANDIYAH
ﷲ Asep Usman Ismail, Tasawuf, dalam Taufik Abdullah ketua dewan editor, Ensiklopedi Dunia Tematis Islam, jilid 3, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001)

No comments: