Masjid An-Nabawi

Masjid An-Nabawi
Rawdah

Tuesday, January 19, 2010

Amalan Paling Utama Setelah Amalan Wajib?

Amalan yang paling utama setelah amalan-amalan wajib adalah berbeda-beda dan tergantung kepada perbedaan kemampuan dan situasi dengan waktu masing-masing individu, sehingga sangatlah luas dan mungkin tidak berkesudahan apabila kita membahas hal tersebut. Tetapi, satu hal yang hampir disepakati oleh para ulama yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perintah-Nya, bahwa amalan yang paling utama adalah senantiasa berdzikir mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Secara umum, dzikir merupakan kesibukan yang paling utama untuk dikerjakan oleh seorang hamba. Yang menguatkan hal itu adalah hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya: ”Sungguh telah menanglah mufaridun!” Para Sahabat bertanya: ”Ya Rasulullah, siapakah mufarridun itu?” Beliau menjawab: ”Orang-orang, laki-laki maupun perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah”Juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda’ dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, yang artinya: ”Maukah kuberitahukan kepada kalian sebaik-baik amal kalian, sesuci-suci kekayaan kalian, setinggi-tinggi derajat kalian, dan apa yang lebih baik bagi kalian daripada menyedekahkan emas dan harta benda atau daripada kalian berjumpa dengan musuh lantas memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher kalian?” Para sahabat menjawab: ”Baiklah, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: ”Berdzikir kepada Allah”

Banyak sekali dalil-dalil qur’ani dan imani mengenai hal itu, baik yang terlihat, diberitakan, maupun disaksikan. Paling tidak, seorang hamba haruslah konsisten dalam menjalankan dzikir-dzikir yang ma’tsur dari ”Sang Pengajar Kebaikan” dan ”Iman Orang-orang bertaqwa”, dzikir-dzikir yang ditetapkan waktunya pada pagi dan sore hari, menjelang tidur, ketika bangun tidur, seusai sholat, dan dzikir-dzikir muqoyad (terbatas/tertentu) seperti yang diucapkan ketika makan, minum, berpakaian, bersetubuh, masuk rumah, masjid, dan wc serta keluar darinya, ketika hujan turun, ketika terdengar suara petir dan sebagainya. Selalu menjalankan dzikir mutlaq (tiada terbatas) seperti mengucapkan dzikir yang paling utama yaitu: ”La ilaha illallah” dan dalam keadaan tertentu melanjutkan dzikir ini dengan tambahan, seperti: ”Subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar wa la haula wa la quwwata illa billah” menjadi lebih utama.

Kemudian, hendaklah kita mengetahui bahwa apapun yang diucapkan oleh lidah dan dipikirkan oleh hati, yang bisa mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti aktivitas mempelajari dan mengajari ilmu, memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran merupakan bagian dari dzikir kepada Allah. Karena itu, barangsiapa yang menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat setelah melaksanakan kewajiban atau duduk dalam sebuah majelis untuk mendalami atau mengajarkan syariat Islam, ini juga merupakan salah satu bentuk dzikir yang paling utama.

Karena itu jika kita perhatikan, kita tidak akan menemukan dari kalangan umat Islam terdahulu terdapat perbedaan pendapat yang mencolok mengenai amalan yang paling utama. Adapun apa yang masih dirasakan oleh seseorang sebagai keraguan, hendaklah ia ber-istikharah sebagaimana yang disyariatkan. Tidak akan pernah menyesal, InsyaAllah, siapapun yang ber-istikharah. Hendaklah kita banyak melakukan ini, juga banyak berdoa, karena doa adalah pembuka setiap kebaikan. Janganlah kita tergesa-gesa dengan mengatakan: ”Aku telah berdoa tetapi belum juga dikabulkan”. Hendaklah kita bersabar dan selalu berdoa. Dan juga hendaklah memilih waktu-waktu yang utama seperti di akhir malam, seusai sholat wajib, ketika adzan, ketika turun hujan, dan sebaginya.

Semoga semua yang kita bahas kali ini memberikan manfaat bagi kita semua. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita hidayah dan lindunganNya dari segala bentuk kejahatan dan kezaliman

Wednesday, January 6, 2010

Mengapa Hizib Perlu Ijazah?

Assalamu'alaikum Wr Wb.
Habib Luthfi yang saya hormati. Saya ingin bertanya seputar hizib. Apa sebenarnya hizib itu? Mengapa ada yang disebut hizib keras dan ada yang lembut? Apa bedanya dengan ratib? Apa fadhilah mengamalkan hizib? Mengapa untuk mengamalkannya diperlukan ijazah?
Wassalamu'alaikum Wr Wb.
Asep Sofyan Kebon Mangu, Bandung

Catatan Redaksi
Pertanyaan tersebut juga terungkap dalam beberapa surat senada yang diterima Redaksi. Semoga Mudah-mudahan ulasan Habib Luthfi tersebut cukup menjawab semua­nya.

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Kapsul, atau tablet, tentu tidak mempunyai dosis yang sama. Demikian juga dosis obat antibiotik dan vitamin. Jika yang satu bisa diminum sehari tiga kali, yang lain mungkin hanya boleh diminum satu kali dalam sehari. Bahkan vitamin, yang jelas-jelas berguna, pun jika diminum melebihi dosis yang ditentukan dokter; efeknya akan berakibat buruk bagi tubuh. Badan bisa meriang atau bahkan kera­cunan. Begitu pula halnya dengan hizib dan ratib.

Hizib dan ratib, dilihat dari susunan­nya, sebenarnya sama. Yakni, sama-sama kumpulan ayat, dzikir; dan doa yang dipilih dan disusun oleh ulama salafush shalih yang termasyhur sebagai wali­yullah (Kekasih Allah). Yang membedakan suatu ratib dengan ratib lain, atau hizib dan hizib lain, adalah asrar yang terkandung dalam setiap rangkaian ayat, doa, atau kutipan hadits, yang disesuaikan dengan waqi’iy­yah (latar belakang penyusunan)-nya.

Namun, meski muncul pada waqi' yang sama dan oleh penyusun yang sama, ratib sejak awal dirancang oleh para awliya untuk konsumsi umum, meski te­tap mustajab. Semua orang bisa meng­amalkan untuk memperkuat benteng dirinya, bahkan tanpa perlu ijazah. Meski tentu jika dengan ijazah lebih afdhal.

Sementara hizib, sejak awal diran­cang untuk kalangan tertentu yang oleh sang wali (penyusun-red) dianggap memiliki kemampuan lebih, karena itu mengandung dosis yang sangat tinggi. Hizib juga biasanya mengandung banyak sirr (rahasia) yang tidak mudah dipahami oleh orang awam, seperti kutipan ayat yang isinya terka­dang seperti tidak terkait dengan rang­kaian doa sebelumnya padahal yang terkait adalah asbabun nuzul-nya. Hizib juga biasanya mengandung lebih banyak ismul a'zham (asma Allah yang agung), yang tidak ada dalam ratib.

Dan yang pasti, hizib tidak disusun berdasarkan keinginan sang ulama, karena hizib rata-rata merupakan ilham dari Allah SWT: Ada juga yang menda­patkannya langsung dari Rasulullah SAW seperti Hizbul Bahr, yang disusun oleh Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili.rhm Karena itulah, hizib mempunyai fadhilah dan khasiat yang luar biasa.

Selain itu, ada juga syarat usia yang cukup bagi pengamal hizib. Sebab orang yang sudah mengamalkan hizib biasanya tidak lepas dari ujian. Ada yang hatinya mudah panas, sehingga cepat marah. Ada yang, karena Allah SWT, menampakkan salah satu hizibnya dalam bentuk kehe­batan, lalu pengamalnya kehilangan kontrol terhadap hatinya dan menjadi som­bong. Ada juga yang berpengaruh ke rizqi, yang selalu terasa panas sehingga sering menguap tanpa bekas, dan sebagainya.

Karena itu pula diperlukan ijazah dari seorang ulama yang benar-benar mumpuni dalam arti mempunyai sanad ijazah hizib tersebut yang bersambung dan mengerti dosis hizib. Selain itu juga diperlukan guru yang shalih yang mengerti ilmu hati untuk mendampingi dan ikut membantu si pengamal dalam menata hati dan menghindari efek negatif hizib.

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)
Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah