Masjid An-Nabawi

Masjid An-Nabawi
Rawdah

Tuesday, March 8, 2011

Keunggulan Zikir Jahar(Dengan suara yang keras)

Menurut Nash dan Qaul Ulama

Berdzikir dengan metode jahar memiliki sandaran kuat dari Al Quran dan Hadits. Di
antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

ْمُكِبْوُنُج َىلَعّو اًدْوُعُقّو اًماَيِق َلا اوُرُكْذاَف َةَلّصلا ُمُتْيَضَق اَذِإَف

“Maka jika engkau telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dengan keadaan
berdiri, duduk dan berbaring”. (an-Nisaa’: 103)

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim:

َىلَع َناَك ِةَبْوُتْكَمْلا َنِم ُساّنلا ُفِرَصْنَي َنْيِح ِرْكّذلاِب ِتْوّصلا َعْفَر ّنَأ هَرَبْخََأ ٍساّبَع ِنْبا ِنَع
ُهُتْعِمـَس اَذِإ َكِلاَذِب اْوُفَرَصْنا اَذَإ ُمَلْعَأ ُتْنُك ٍساّبَع ُنْبا َلاَق َلاَق ُهّنأ م.ص ّيِبّنلا ِدْهَع

Dari Ibnu ’Abbas Ra. berkata: “bahwasanya dzikir dengan suara keras setelah selesai
shalat wajib adalah biasa pada masa Rasulullah SAW”. Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segera
tahu bahwa mereka telah selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir telah
kedengaran”.[Lihat Shahih Muslim I, Bab Shalat. Hal senada juga diungkapkan oleh al Bukhari
(lihat: Shahih al Bukhari hal: 109, Juz I)]

ْيِدْبَع ّنَظ َدْنِع انَأ :َلاَعَت ُلا ُلْوُقَي :م.ص ِلا ُلْوُسَر َلاَق :َلاَق ض.ر َةَرْيَرُه ْيِبَأ ِنْبا ْنَع
ُهُتْرَكَذ ٍإَلَم ْيِف ْيِنَرَكَذ ْنِإَو ْيِسْفَن ْيِف ُهُتْرَكَذ ِهِسْفَن ْيِف ْيِنَرَكَذ ْنِإَف ,ْيِنَرَكَذ اَذِإ ُهَعَم انَأَو ,ْيِب
{يراخبلا هاور} ْمُهْنّم ٌرْيَخ ٍإَلَم ْيِف

“Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Allah berfirman: ‘Aku
bergantung kepada prasangka hambaKu kepada-Ku, dan Aku menyertainya ketika mereka
berdzikir. Apabila mereka menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku sebut dirinya di
dalam diri-Ku. Apabila mereka menyebut-Ku di tempat yang ramai, maka Aku sebut
mereka di tempat yang lebih ramai dari itu”.

As-Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani Rhm. mengatakan bahwa hadits ini
menunjukkan bahwa menyebut di tempat keramaian itu (fil-Mala-i) tidak lain adalah
berdzikir jahar (dengan suara keras), agar seluruh orang-orang yang ada di sekitarnya
mendengar apa yang mereka sebutkan (dari dzikirnya itu). [Abwabul Faraj, Pen. Al
Haramain, tth., hal. 366]

Habib Ali bin Hasan al Aththas dalam Kitabnya Al Qirthas juga mengungkapkan hadits di
atas untuk mendukung dalil dzikir dengan jahar. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa
tanda syukur adalah memperjelas sesuatu dan tanda kufur adalah menyembunyikannya.
Dan itulah yang dimaksud dengan ‘dzikrullah’ dengan mengeraskan suaranya dan
menyebarluaskannya. [Terj. Al-Qirthas, Darul Ulum Press, 2003, hal. 190]

ىِف ٍلُجَرِب ّرَمَف ًةَلْيَل م.ص ّيِبّنلا َعَم ُتْقَلَطْنِا : ِعَرْدَلْا ُنْبا َلاَق :َلاَق ض.ر َمَلْسَأ ِنْب ِدْيَز ْنَع
(ٌهاَوَأ هّنِكلَو َل) :َلاَق ؟اّيِئاَرُم اَذه َنْوُكّي ْنَأ ىسَع ِلا َلْوُسَر اَي :ُتْلُق ,هَتْوَص ُعَفْرَي ِدِجْسَمْلا {يقهيبلا هاور}

“Dari Zaid bin Aslam Ra. bahwasanya Ibnu Adra’ berkata: Saya telah berjalan bersama
Nabi SAW di suatu malam, maka Beliau melewati seorang laki-laki yang sedang berdzikir
dengan mengangkat suara (suara yang keras) di dalam masjid. Aku bertanya kepada beliau
SAW: ‘Wahai Rasulullah, barangkali orang ini (yang sedang berdzikir dengan suara keras)
itu sedang pamer?’ Beliau bersabda: ‘Tidak, akan tetapi ia sedang merintih (mengeluh)‘.
Para pendidik ruhani masa lalu menyatakan dengan berbagai landasan eksperimennya
bahwa “Orang-orang yang mubtadi (pemula) dan bagi orang-orang yang menuntut
terbukanya pintu hati adalah wajib berjahar dalam dzikirnya”. Syaikh Abdul Wahhab asy
Sya’rani Rahimahullahu Ta’ala berkata: “Sesungguhnya sebagian besar Ulama Ahli
Tasawuf telah mufakat bahwasanya wajib atas murid itu berdzikir dengan jahar, yakni
dengan menyaringkan akan suaranya dan didalamkannya. Dan berdzikir dengan sirri dan
perlahan-lahan itu tidak akan memberi faidah kepadanya untuk menaikkan kepada
martabat yang tinggi” [Lihat Siyarus Salikin, Abdush Shomad Palembani, III: 191]
Habib Abdullah bin Alwi al Haddad Rhm. mengungkapkan dalam dalam suatu kitabnya:

ْيِفْكَي اَم ِقْزّرلا ُرْيَخَو ّيِفَخْلا ِرْكِّذلا ُرْيَخ ُمَلّسلاَو ُةَلّصلا ِهْيَلَع َلاَق َعَم ِرْكّذلاِب َتْرَهَج ْنِإَو ,
هُتَلَص ِهْيَلَع ْطّلَخُت ُثْيَحِب ٍئِراَق َلَو ّلَصُم ىلَع َكِلذ ِبَبَسِب ْشّوَشُت ْمَلَو ِهْيِف ِل ِصَلْخِلْا
.ٍةَعاَمَج َعَم َكِلذ َناَك ْنِإَو ٌبْوُبْحَمَو ٌبَحَتْسُم َوُه ْلَب ُهْنِم َعِنُم َلَف ِرْهَجْلاِب َسْأَب َلَف هُتَئآَرِقَو
َنْيّلَصُمْلا َىلَع ِشْيِوْسّتلا ِمَدَعَو ِصَلْخِلْا َنِم هُاَنْرَكَذ اَم ِقْفِو ىلَع لاَعَت ِلا َرْكّذ اوُعَمَتْجا
ِهْيِف ٌبَغَرُمَو ِهْيَلِإ ٌبْوُدْنَم َكِلذَف ْمِهِوْحَنَو َنْيِلاّتلاَو

“Telah bersabda Nabi SAW: “Sebaik-baik dzikir adalah dzikir khofi, dan sebaik-baik rizki
adalah yang cukup”. Andaikata kamu menjalankan dzikir dengan ikhlas karena Allah di
dalam dzikirnya dan tidak mewaswaskan (mengganggu) orang lain yang sedang shalat dan
tidak membuat orang yang sedang membaca Al-Quran menjadi kacau bacaannya karena
dzikir itu, maka tidaklah apa-apa berdzikir jahar. Hal yang demikian itu tidak dilarang
bahkan disunatkan, dan dicintai walaupun keadaan dzikir itu berjama’ah. Mereka
berkumpul untuk berdzikir kepada Allah sesuai dengan apa yang telah kami terangkan
dengan ikhlas dan tidak mewaswaskan orang-orang yang sedang shalat dan membaca Al-
Quran, dan sebagainya, maka dzikir seperti itu disunatkan dan sangat dianjurkan. [An-
Nasha-ihud Diniyyah, hal 50]

ْيِف ْمُهَلَو َكِلاَذِب َعاَمِتْجِلْاَو ِرْكّذلاِب َرْهَجْلا ِفّوَصّتلا ِةَقْيِرّطلا ِلْهَأ ْنِم ٌةَعاَمَج َراَتْخا ِدَقَو
ٌةَفْوُرْعَم ُقِئاَرَط َكِلذ

“Para jama’ah dari kalangan Thariqat Shufi mengangkat suara keras ketika berdzikir, dan
mereka berjama’ah ketika berdzikir, hal yang demikian itu merupakan metode thariqat
yang sudah umum/dikenal”. [An-Nasha-ihud Diniyyah, hal 51]

Berdzikir jahar yang dimaksud adalah berdzikir dengan suara keras yang sempurna,
sehingga bagian atas kepala hingga kaki mereka itu bergerak. Dan seutama-utama dzikir
jahar adalah berdiri, dengan menghentak, bergerak teratur dari ujung rambut hingga ujung kaki, hingga seluruh jasadnya turut merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah ‘Azza wa
Jalla. (Al-Minahus Saniyyah, Abd. Wahab as Sya’rani)
Dalam kitab Taswiful Asma’, hal. 33 diterangkan:

َمّرَك ّيِلَع ْنَع هِدَنَسِب ِمْيَعُن ْوُبَأ ُظِفاَحْلا ىَوَر اَمِل ِهْيَلِإ ٌبْوُدْنَمَف ِرْكّذلا ِةَلاَح ْيِف ُزاَزِتْهِلْا اّمَأَو
ْيِف ُرَجّشلا ّدُمَي اَمَك اْوّداَم َلا اْوُرَكَذ اَذِإ اْوُناَك َلاَقَف اًمْوَي َةَباَحّصلا َفَصَو هّنَأ ُهَهْجَو ُلا
ْمِهِباَيِث ىلَع ْمُهُعْوُمُد ْتَرَجَو ِحيّرلا ِدْيِدّشلا ِمْوَي ْيِماَطْسُبْلا نْيّدلا ُلاَمَج ُفِراَعْلا اَنُخْيَش َلاَق ,
ىِف َنْوُكّرَحَتَي اْوُناَك ْمُهْنَع لاَعَت ُلا َيِضَر َةَباَحّصلا ّنَأ ْيِف ٌحْيِرَص اَذهَو هَحْوُر لاَعَت ُلا َسّدَق
ِحْيّرلا ِدْيِدّشلا َمْوَي ِرَجّشلا ِةَكْرَحِب ْمُهُتَكْرَح َهّبُش هنَلِ ًلاَمِشَو اًنْيِمَي ًةَدْيِدَش ًةَكْرَح ِرْكّذلا

“Adapun bergoyang-goyang di kala berdzikir itu dianjurkan, karena telah meriwayatkan Al
Hafizh Abu Nu’aim dengan sanadnya dari Sayidina Ali (semoga Allah memuliakan
wajahnya) bahwa sesungguhnya beliau pada suatu hari telah mensifati keadaan sahabat
dengan katanya: ‘Adalah mereka (para sahabat) apabila berdzikir kepada Allah bergoyang-
goyang seperti bergoyangnya kayu ketika datangnya angin kencang, dan mengalir air
matanya pada pakaiannya’. Telah berkata Syekh kita yang ‘Arif, Jamaluddin al Bushthami
(semoga Allah Ta’ala menyucikan ruhnya): ‘Ini merupakan perkataan yang jelas,
sesungguhnya sahabat-sahabat (semoga Allah meridhai mereka) bergoyang-goyang ketika
berdzikir dengan gerakan yang keras ke kanan dan ke kiri. Sesungguhnya berdzikir seperti
itu menyerupai bergeraknya kayu pada waktu datangnya angin kencang”.

Keunggulan dzikir jahar itu adalah seperti yang dikatakan seorang Ulama Ahli Tasawuf:
“Apabila seorang murid berdzikir kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla dengan sangat kuat dan
semangat yang tinggi, niscaya dilipat baginya maqam-maqam thariqah dengan sangat
cepat tanpa halangan. Maka dalam waktu sesaat (relatif singkat) ia dapat menempuh jalan
(derajat) yang tidak bisa ditempuh oleh orang lain selama waktu sebulan atau lebih”.
Syekhul Hadits, Maulana Zakaria Khandalawi mengatakan, ‘Sebahagian orang
mengatakan bahwa dzikir jahar (dzikir dengan mengeraskkan suara) adalah termasuk
bid’ah dan perbuatan yang tiada dibolehkan). Pendapat ini adalah menunjukkan bahwa
pengetahuan mereka itu di dalam hadits adalah sangat tipis. Maulana Abdul Hayy
Rahimahullahu Ta’ala mengarang sebuah risalah yang berjudul ‘Shabahatul Fikri’. Beliau
menukil di dalam risalahnya itu sebanyak 50 hadits yang menjadi dasar bahwa dzikir jahar
itu disunnahkan’. [Fadhilat zikir, Muh Zakariya Khandalawi. Terj. HM. Yaqoob Ansari, Penang
Malaysia, hal 72]

Dan dzikir jahar itu dianjurkan dengan berjama’ah, dikarenakan dzikir dalam berjama’ah
itu lebih banyak membekas di hati dan berpengaruh dalam mengangkat hijab.
Rasulullah SAW bersabda: “Tiadalah duduk suatu kaum berdzikir (menyebut nama Allah
‘Azza wa Jalla) melainkan mereka dinaungi oleh para malaikat, dipenuhi oleh rahmat
Allah dan mereka diberikan ketenangan hati, juga Allah menyebut-nyebut nama mereka itu
dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”. [At Targhib wat Tarhib, II: 404]
Imam al Ghazali Rahimahullahu Ta’ala telah mengumpamakan dzikir seorang diri dengan
dzikir berjama’ah itu bagaikan adzan orang sendiri dengan adzan berjama’ah. Maka
sebagaimana suara-suara muadzin secara kelompok lebih bergema di udara daripada suara
seorang muadzin, begitu pula dzikir berjama’ah lebih berpengaruh pada hati seseorang
dalam mengangkat hijab, karena Allah Ta’ala mengumpamakan hati dengan batu. Telah diketahui bahwa batu tidak bisa pecah kecuali dengan kekuatan sekelompok orang yang
lebih hebat daripada kekuatan satu orang”. [Al-Minahus Saniyyah, Abd. Wahab as Sya’rani]
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar Rhm. mengatakan:

ًءاَيِر ْفَخَي ْمَل ُثْيَح هِب ُرْهَجـلاَو ِتاَياَوّرلاَو ِتاـيلْا ِحْيِرَصِب ٌبْوُلْطَم ِةَءاَرِقـْلاَك ُرْكّذلَا
هّنَلَِو ِعاَمّسلِل هُتَلْيِضَف ُنَواَعَتـتَو ُرَثْكَأ ِهْيِف َلَمَعـْلا ّنَلِ ُلَضْفَأ ّلَصُم ِوْحَن ىلَع ْشّوَشُي ْمَلَو
ىِف ُدـيِزـيَو َمْوّنلا ُدُرْطيَو ِهْيَلِإ هَعْمَس ُفّرَصُيَو ِرْكِفْلِل هّمَه ُعَمْجَي َو ِئِراَقـْلا َبْلَق ُظِقْوُي
:نيدشرتشلا ةيغب) ِطاَشّنلا ٤٨ (

“Berdzikir itu laksana orang yang membaca Al-Quran, yang diperlukan kejelasan ayat dan
riwayatnya, dan juga diperlukan keras suaranya, apabila tidak khawatir riya’ dan tidak
mengganggu kepada orang shalat. Berdzikir seperti itu lebih afdhal, karena sesungguhnya
dzikir yang banyak itu akan melimpah ruah pahalanya kepada yang mendengarnya. Dan
manfaat berdzikir jahar itu akan mengetuk hati penyebutnya, menciptakan konsentrasi
(fokus) pikirannya terhadap dzikirnya, mengalihkan pendengarannya pada dzikir,
menghilangkan rasa kantuk, serta menambah semangat (bersungguh-sungguh)”.
[Bughyatul Mustarsyidin, hal. 48]

Dalam suatu hadits disebutkan:

اًرْهَج ّلِإ َنْوُكَي َل ُحْدَمْلاَو ِلا َنِم ُحْدَمْلا ِهْيَلِإ ّبَحَأ َدَحَأ َل
“Tidak ada suatu pujian seseorang yang dicintai Allah, kecuali pujian yang diucapkan
dengan suara jelas”.

Seorang penyair mengatakan:

اًجِلْجَلَتُم َل ِهْيِف ْيِحْدَمِب ُتْرَهَج ُجَلْجَلَتَي َل َبْيِبَحْلا َحَدَم ْنَمَو

Dengan suara keras aku telah memujinya tanpa tergagap-gagap,
Barang siapa yang memuji kekasihnya tentu tidak tergagap-gagap.
[Terj. Al-Qirthas, Darul Ulum Press, 2003, hal. 191]

Diambil dari Buku: Dzikir Qurani, Mengingat Allah sesuai Fitrah Manusia, Yayasan Al-
Idrisiyyah, Indonesia.